Sebagai kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur
dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang bernama Khitab
al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga
Tanah Air) di Wonokromo, Far’u al-Wathan (Cabang Tanah Air)
di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Mas
Mansoer juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Oleh
karena itu, Soeara Santri mendapat sukses yang gemilang. Djinem merupakan
majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansoer. Melalui majalah
itu Mas Mansoer mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan
dan kekolotan. Di samping itu, Mas Mansoer juga pernah menjadi redaktur Kawan Kita di Surabaya.
Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di Siaran dan Kentoengan di Surabaya; Penagandjoer dan Islam Bergerak di Jogjakarta; Pandji Islam dan Pedoman Masyarakat diMedan dan Adil di Solo.
Mulai aktif di Muhammadiyah
Pada tahun 1921, Mas Mansoer masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansur dalam Muhammadiyah membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan.
Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943.
Terpilih menjadi Ketua PB Muhammadiyah
Mas Mansoer dikukuhkan sebagai Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di
Jogjakarta pada bulan Oktober 1937. Banyak hal pantas dicatat sebelum
Mas Mansoer terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Kelompok
muda di lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Pada mulanya Mas
Mansoer menolak, tetapi setelah melalui dialog panjang ia bersedia
menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Bahkan Pengurus Besar Muhammadiyah pada
periode Mas Mansoer juga banyak didominasi oleh angkatan muda
Muhammadiyah yang cerdas, tangkas, dan progresif.
Terpilihnya Mas Mansur
sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah meniscayakannya untuk pindah
ke Jogjkarta bersama keluarganya. Sebagai Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah, Mas Mansoer juga bertindak disiplin dalam berorganisasi.
Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Namun Mas Mansur
tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi para tamu Muhammadiyah dari
daerah-daerah itu di rumahnya untuk urusan yang tidak berkaitan dengan
Muhammadiyah.
Kepemimpinannya ditandai dengan
kebijaksanaan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Selain
itu, Mas Mansoer juga banyak membuat gebrakan dalam hukum Islam dan
politik ummat Islam saat itu. Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah, Mas Mansoer sebenarnya sudah banyak terlibat dalam
berbagai aktivitas politik ummat Islam. Demikian juga ketika Jepang
berkuasa di Indonesia, Mas Mansoer termasuk dalam empat orang tokoh
nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat
serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas Mansur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar